Perempuan dengan segala keunikannya dimana Alloh
berikan keistimewaan bagi perempuan. Laki-laki dan perempuan pada hakikatnya
sama, yaitu sama-sama memiliki kewajiban beribadah kepada Alloh. Sebagaimana
dalam solat, puasa, zakat, haji, dan ibadah-ibadah yang lainnya. tidak
dibedakan dalam hal perolehan pahala disisi Alloh SWT. Yang membedakan adalah
kualitas dari ibadah yang mereka lakukan yang pada hakikatnya bukan laki-laki
atau perempuan melainkan individu-individu. “barang siapa yang mengerjakan amal
soleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan”.(Q.S AN NAHL97)
Perempuan sungguh unik, Alloh menciptakan manusia
dengan berbagai fase yang sudah menjadi kodratya. Adapun kita mengenal istilah
Baligh. "Baligh" diambil dari
kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya
"telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum
Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila :
1. Mengetahui, memahami, dan mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta2. Telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah.(bagi laki-laki)
3. Telah mencapai usia 9 tahun ke atas dan atau sudah mengalami "menstruasi". (bagi perempuan)
Baligh adalah satu masa di mana seorang anak dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan akan dihisab yang mana baligh mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenal
Tanda-Tanda Baligh untuk Laki-Laki
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya. Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur’an, dimana Allah ta’alam berfirman :
”Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin”. (An Nuur : 59 )
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata,”Aku hafal perkataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Tidak dinamakan yatim bila telah ihtilam dan tidak boleh diam seharian hingga malam” (HR. Abu Dawud).
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
”Diangkat pena tidak dikenakan kewajiban pada tiga orang : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan
Dari ‘Athiyyah ia berkata : “Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Quraidhah , di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan”(HR. Abu Dawud, Tirmidzi , Nasa’I , Ibnu Majah dan Ahmad).
Dalam lafadh lain : “Aku adalah seorang pemuda di hari Sa’ad bin Mu’adz menghukum Bani Quraidhah dengan dibunuhnya orang yang ikut berperang dan ditawan keturunannya. Mereka
melaporkan aku, tapi mereka tidak mendapati bulu kemaluanku, makanya aku sekarang di tengah-tengah kalian” (Tarbiyatul-Aulad fil-Islaam).
Tanda-Tanda Baligh untuk Perempuan Balighnya anak perempuan bisa sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu Haidl, berkembangnya alat- alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada. Bila anak sudah hulm / ihtlaam maka ia telah sampai pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib.
Dalam hal ibadah di bulan Ramdhan perempua degan
segala kodratnya diberukan kerigaa oleh Alloh SWT dega ketentua sebagai
berikut;
1.
Perempuan
haidh atau nifas
Perempuan yang sedang haidh atau nifas diharamkan
melakukan puasa, jika ia melakukannya maka berdosa. Dan apabila seorang
Perempuan yang sedang berpuasa keluar darah haidhnya baik di pagi, siang
ataupun sore walaupun sesaat menjelang terbenamnya matahari, maka ia wajib
membatalkannya, dan wajib mengqodhonya setelah ia bersuci. Juga sebaliknya jika
Perempan tersebut suci sebelum fajar walaupun sekejap maka ia wajib berpuasa
pada hari itu walaupun mandinya baru dilakukan setelah fajar.
2.
Perempuan
tua yang tidak mampu berpuasa
Seorang Perempuan yang lanjut usia yang tidak
mampu lagi untuk berpuasa dan jika berpuasa akan membahayakan dirinya, maka ia
tidak boleh berpuasa, karena Allah swt. Berfirman:”… Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan …” (QS. Al Baqarah: 195) dan karena orang
yang lanjut usia itu tidak bisa diharapkan untuk bisa mengqodho, maka baginya
wajib membayar fidyah saja (tidak wajib mengqodho), dengan memberi makan setiap
hari satu orang miskin, berdasarkan firman Allah swt : “Dan bagi orang yang
tidak mampu berpuasa maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap
hari satu orang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
عن عطاء، سمع ابن عباس يقرأ “وعلى الذين يطوقونه فلا ي طيقونه (فدية طعام مسكين) ستطيعان أن رة لا ي رأة الكبي ر والم شيخ الكبي و ال سوخة ه ست بمن اس : لي ن عب ال اب ق يصوما فيطعمان مكان آل يوم مسكينا
Dari Atho, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat
yang artinya “Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya – membayar
fidyah-, yaitu memberi makan satu orang miskin”, Ibnu Abbas berkata :”ayat ini
tidak dinasakh, ia untuk orang yang lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak sanggup berpuasa hendaknya memberi makan setiap hari satu orang
miskin” HR. Bukhari
3.
Perempuan hamil dan menyusui
Perempuan yang sedang hamil atau menyusui tetap
harus berpuasa di bulan Ramadhan, sama dengan Perempuan-perempuan yang lain, selagi ia mampu untuk melakukannya.
Jika ia tidak sanggup untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak
memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana perempuan yang sedang sakit,
dan wajib mengqodhonya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali. Allah
berfirman: “Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184) dan apabila ia mampu untuk
berpuasa, tapi khawatir berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya,
maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqodho di hari lain dan
membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin. Hal ini
berdasarkan perkataan Ibnu Abbas saat mengomentari penjelasan yang termuat
dalam surat Al Baqarah: 184 yang artinya “Dan wajib bagi orang yang
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah …”, beliau berkata
: “Ayat ini adalah rukhshoh (keringanan) bagi orang yang lanjut usia lelaki dan
perempuan, perempua hamil dan menyusui jika khawatir terhadap anak anaknya maka
keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah)” HR. Abu Daud hal yang sama
juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliallahu ‘Anhu, dan tidak ada seorang pun
dari sahabat yang menentangnya (lihat Al Mughni: Ibnu Qudamah 4/394)
4.
waktu
mengqodho puasa bagi seorang perempuan
perempuan yang memiliki hutang puasa (harus
mengqodho) karena sakit atau bepergian maka waktu mengqodhonya dimulai sejak
satu hari setelah Idul fitri dan tidak boleh di akhirkan sampai datangnya bulan
Ramadhan berikutnya, barang siapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya
Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka di samping mengqodho ia harus
membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai
hukuman atas kelalaiannya. (Lihat: Al mughni 4/400, fatwa Ibnu Baz, Fatwa Ibnu
Utsaimin) Dan para ulama telah sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan itu tidak
diharuskan untuk dilakukan secara terus menerus dan berurutan, karena tidak ada
dalil yang menjelaskan akan hal itu. Kecuali waktu yang tersisa di bulan
Sya’ban itu hanya cukup untuk qadha puasa maka tidak ada cara lain kecuali
terus menerus dan berurutan. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu 2/680)
5.
mengkonsumsi
tablet anti haidh pada bulan Ramadhan
Hendaknya seorang perempuan tidak mengkonsumsi
tablet anti haidh, dan membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya,
sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan, karena dibalik keluarnya
darah tersebut ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan, jika hal ini
dihalang halangi maka jelas akan berdampak negatif pada kesehatan perepuan tersebut,
dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya, dan pada umumnya perempuan yang
melakukan hal ini kelihatan pucat, lemas dan tidak bertenaga. sedangkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
” لا ضرر ولا ضرارا” رواه ابن ماجة في الأحكام
“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan
dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.”
HR. Ibnu Majah (lihat: fatawa ulama Najd, dan 30 Darsan Lisshoimat
Namun apabila ada perempuan yang melakukan hal
seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut :
1. Apabila darah haidhnya benar-benar telah
berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqodho.
2. Tetapi apabila ia ragu apakah darah tersebut
benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak
boleh melakukan puasa. (lihat: masail ash shiyam, hal 63 dan jami’u ahkamin
nisa’ 2/393)
6.
Mencicipi
makanan
Kehidupan seorang perempuan tidak bisa dipisahkan
dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai juru masak di
sebuah rumah makan, restoran atau hotel. Dan karena kelezatan masakan yang ia
oleh adalah menjadi tanggung jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui
rasa masakan yang diolahnya, dan itu mengharuskan ia untuk mencicipi
masakannya. Jika itu dilakukan, bagaimana hukumnya ? batalkah puasanya ? para
ulama memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya
saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya, hal ini diqiyaskan kepada berkumur
kumur ketika berwudhu. (jami’ ahkamin nisa’)
Perempuan
Dan Shalat Tarawih Di Masjid
Seorang wanita diperbolehkan untuk datang ke
masjid, baik untuk shalat tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian,
jika kehadirannya tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang
lain, hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
” لا تمنعوا إماء الله مساجد الله” رواه البخاري
“Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk
mendatangi masjid-masjid Allah” HR. Bukhari Namun demikian, ada syarat-syarat
yang harus dipenuhi yang di antaranya : harus berhijab, tidak berhias, tidak
memakai parfum, tidak mengeraskan suara, dan tidak menampakkan perhiasan. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“إذا شهدت إحداآن المسجد فلا تمس طيبا” رواه مسلم والنسائي وأحمد عن زينب
“Jika salah seorang di antara kalian (para wanita)
ingin mendatangi masjid maka janganlah menyentuh wangi wangian” HR. Muslim.
ن ة ع ن ماج سل ” رواه اب ى تغت لاة حت ا ص ل له م تقب “أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد ل
أبي هريرة
“Wanita manapun yang memakai wangi wangian,
kemudian pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi”. HR.
Ibnu Majah.
Perempuan
Dan I’tikaf
Sebagaimana disunnahkan bagi pria, I’tikaf juga
disunnahkan bagi perempuan. Sebagaimana istri Rasulullah Saw juga melakukan
I’tikaf, tetapi selain syarat-syarat yang disebutkan di atas, I’tikaf bagi kaum
perempuan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Mendapatkan persetujuan (ridha) suami atau
orang tua. Dan apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk I’tikaf, maka ia
tidak dibolehkan menarik kembali persetujuan itu.
2. Agar tempat dan pelaksanaan I’tikaf wanita
memenuhi tujuan umum syariat. Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau
syariat I’tikaf adalah berdiam di masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda
pendapat tentang masjid yang dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih
afdhol-wallahu a’lam ialah I’tikaf di masjid (tempat shalat) di rumahnya.
Manakala wanita mendapatkan manfaat dari I’tikaf di masjid, tidak masalah bila
ia melakukannya.
Begitulah perempuan dengan segala keunikanya dimaa
Alloh berikan kemudahan dalam hal ibadah tapa mengurangi eksistesi dari nilai
ibadah itu sendiri. Wallohua’lam bishowam..
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/08/16/7014/fiqih-wanita-berkaitan-dengan-ramadhan/#ixzz36Pw9qP2V